A. Kesultanan Samudra Pasai
Kerajaan
Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan
Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13, tepatnya pada 1285 M. Kerajaan
ini terletak di Pasai, Lhokseumawe, pantai timur taut Sumatra di
ujung utara. Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh seorang Laksamana
Angkatan Laut dari Mesir bernama Nazimuddin Al-Kamil. Ia lalu
mengangkat Marah Silu sebagai sultan pertama. Setelah dilantik
sebagai sultan, Marah Silu bergelar Sultan Malik As-Saleh.
Sepeninggal
Sultan Malik As-Saleh, Kerajaan Samudra Pasai diteruskan oleh Sultan
Malik Tahir, anaknya. Sultan Malik Tahir adalah sultan yang taat
beragama dan giat berdakwah. Baginda membangun Masjid dan banyak
meunasahl surau di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian, Islam
tersebar sampai ke desa-desa.
Pada
masa pemerintahan Sultan Malik Tahir inilah Kerajaan Samudra Pasai
mengalami kejayaan. Rakyat mengalami kemakmuran dan kehidupan
beragama semarak. Hal ini dilukiskan oleh seorang musafir, Ibnu
Batutah dari Maroko yang membuat catatan dalam buku hariannya sebagai
berikut: “Sultan adalah pengikut agama Islam yang saleh. Baginda
dan rakyatnya adalah pengikut Mazhab Syafi’i. Pada Jumat, Baginda
pergi ke masjid dengan berjalan kaki yang diikuti oleh rakyatnya.
Saat pulang dan masjid, Baginda menunggang gajah dengan beberapa
pengawal saja. Rakyat sangat menghormati sultannya. Kehidupan rakyat
tampak makmur.”
Setelah
Sultan Malik Tahir meninggal, Kerajaan Samudra Pasai diteruskan oleh
Zainal Abidin, anaknya. Pada masa pemerintahan Zainal Abidin,
Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena
adanya persaingan di antara keluarga istana yang menyebabkan salah
urus pemerintahan. Akibatnya pemerintah pusat menjadi lemah yang
akhirnya mendorong daerah-daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Samudra
Pasai berusaha melepaskan diri dengan cara melakukan pemberontakan.
Di samping itu, juga terjadi serangan dari Majapahit yang melakukan
politik perluasan wilayah ke seluruh Nusantara. Pada abad ke-15 nama
Kerajaan Samudra Pasai sudah tidak terdengar lagi.
B. Kesultanan Aceh
Pada
abad ke-16 muncul Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh terletak di Kotaraja,
Banda Aceh. Semula, Kerajaan Aceh hanyalah sebuah kerajaan kecil di
bawah kekuasaan Kerajaan Pedir. Seiring dengan dikuasainya Malaka
oleh Portugis pada 1511, banyak ulama dan pejuang Islam di Kerajaan
Malaka mencari suaka politik di Kerajaan Aceh ini. Dalam perkembangan
berikutnya, Kerajaan Aceh menjadi sebuah kerajaan yang makin kuat
karena didukung oleh banyak pejuang militan dan orang cerdik
cendekia.
Sultan
Ali Mugayat Syah mulai menata pemerintahannya. Pejabat yang mengurus
bidang agama mendapat perhatian. Penghulu, imam masjid, imam
surau/meunasah, dan pejabat agama tingkat desa/ gampong diangkat.
Sejalan dengan itu, puluhan masjid dan ratusan meunasah didirikan.
Dengan demikian, agama Islam dipeluk oleh semua rakyatnya dan telah
menjadi agama rakyat, bukan hanya milik sultan dan kerabatnya.
Sultan
Kerajaan Aceh yang sangat terkenal adalah Sultan Iskandar Muda yang
berkuasa pada 1607-1636 M. Pada masa Sultan Iskandar Muda inilah
Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan makin
luas yang mencapai semenanjung Malaka seperti Kedah, Perak, dan
Pahang. Kehidupan rakyat makin makmur. Dakwah Islam makin giat dan
pengamalan keagamaan rakyat makin meningkat.
Sepeninggal
Sultan Iskandar Muda pada 1636, Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan
Iskandar Tsani, anaknya. Ternyata kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani
tak secakap bapaknya. Pemerintahan makin lama makin tidak efektif.
Akibatnya pemerintah tak bisa memajukan kehidupan rakyat. Rakyat
banyak yang tidak puas atas pemerintahan sultan dan kerabatnya.
Kondisi ini terus berlanjut sehingga kerajaan menjadi sangat mundur.
Kondisi
Kerajaan Aceh semakin melemah pada awal abad ke-17. Sejak itu, secara
berangsur-angsur Kerajaan Aceh tidak bisa bertahan dan akhirnya hanya
tinggal nama saja.
C. Kesultanan Siak Sri Indrapura
Di
daerah Riau pada tahun 1723 M berdiri kesultanan Islam Siak Sri
Indrapura. Kesultanan ini didirikan oleh Abdul Jalil Rahmat Syah atau
Raja Kecil, putra Sultan Mahmud II, penguasa Johor, Malaysia.
Kesultanan ini menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatra Timur.
Abdul
Jalil atau Raja Kecil digantikan oleh anaknya, Abdul Jalil Muzaffar
Syah (1746-1760). Pada masa pemerintahan Abdul Jalil Muzaffar Syah
ini, Kesultanan Siak melawan Belanda yang ingin memonopoli
perdagangan. Kesultanan Siak berhasil memenangkan peperangan ini dan
dapat memaksa Belanda mundur dan wilayahnya. Akan tetapi, pada
peperangan yang kedua pada 1858, Kesultanan Siak terpaksa
menandatangani Traktat Siak. Isi Traktat sangat merugikan Kesultanan
Siak. Sebagian isinya adalah bahwa Belanda mengakui otonomi
Kesultanan Siak tapi Siak harus menyerahkan 12 daerah taklukannya.
Sejak ditandatanganinya Traktat Siak ini berangsur-angsur Kesultanan
Siak mengalami kemunduran.
Sultan
terakhir Siak adalah Syarif Qasim II, yang memerintah 1908-1946.
Sultan Syarif Qasim II mempunyai pandangan yang modern. Beliau
mendirikan sekolah dasar (HIS) pada 1915 untuk anak-anak pribumi
tanpa membedakan status sosialnya dan Madrasah Al Hasyimiyah (1917).
Juga sekolah untuk perempuan Latfah School (1926) dan Madrasah
An-Nisa (1929). Sultan Syarif Qasim II pada 1946 menyerahkan
sepenuhnya daerah kesultanannya kepada pemerintah Republik Indonesia.
Atas jasanya nama Sultan Syarif Qasim II diabadikan menjadi nama IAIN
Pekanbaru, Riau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar